close

Friday, December 12, 2025

author photo

 

Maggie (2018). 1h 28m.


Realitas yang Retak

Film Maggie (2018) karya sutradara Yi Ok-seop menawarkan sebuah eksplorasi unik mengenai ketidakpercayaan (trust issues) dan keretakan yang begitu mudah muncul dalam hubungan antar manusia. Dengan gaya visual eksperimental, humor absurd, dan sentuhan realisme magis, film ini mengajak penonton untuk menelusuri bagaimana kesalahpahaman kecil dapat membesar menjadi kehancuran, dan bagaimana keberanian untuk percaya adalah fondasi terakhir yang bisa menyelamatkan kita.

Melalui struktur penceritaan tiga bagian dan perspektif naratif seekor ikan bernama Maggie, film ini membuka ruang kontemplasi tentang absurditas hidup modern: bagaimana ketakutan sering dibentuk oleh imajinasi kolektif, dan bagaimana manusia lebih mudah percaya pada rumor daripada mencari kebenaran


Cerita berawal ketika gambar sinar-X misterius yang memperlihatkan sepasang kekasih sedang berhubungan intim di ruang pemeriksaan muncul di rumah sakit tempat Yoon-Young bekerja sebagai perawat. Foto tersebut menyebar sebagai rumor yang menularmembuat para pegawai saling menuduh dan mencurigai satu sama lain. Yang menarik adalah bahwa tidak ada yang tahu siapa sebenarnya pasangan dalam foto itu, tetapi hampir seluruh tenaga kesehatan memutuskan untuk tidak masuk kerja keesokan harinya. Ketakutan mereka bukan pada kebenaran, melainkan pada kemungkinan menjadi tersangka, menjadi objek tatapan orang banyak.

Di tengah kekacauan itu, hanya Yoon-Young yang tetap datang bekerja. Keputusannya untuk kembali bukan karena ia yakin bahwa dirinya tidak bersalah, tetapi karena menolak lari adalah bentuk keberanian untuk mengambil tanggung jawab terhadap identitasnya sendiri. Dari awal saja film ini telah mengkritik fenomena sosial di mana orang lebih takut pada penghakiman daripada pada apa yang benar.

Hubungan Yoon-Young dengan pacarnya, Sung-Won, menjadi ruang refleksi yang lebih intim tentang tema sentral film: kepercayaan adalah struktur paling rapuh sekaligus paling dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Sung-Won mendapatkan pekerjaan menutup lubang-lubang misterius yang tiba-tiba muncul di seluruh Seoul—retakan luas yang menelan mobil, trotoar, bahkan rumah. Lubang-lubang tersebut, yang digambarkan dengan gaya visual surealis, berfungsi sebagai metafora kuat tentang ruang kosong dalam hubungan manusia: kesalahan-kesalahan kecil, asumsi, kata-kata yang tidak pernah terucap, dan jarak emosional yang perlahan tumbuh tanpa disadari.

Pertanyaan yang muncul adalah:

Jika realitas pun bisa retak, bagaimana manusia bisa sepenuhnya percaya satu sama lain?

Yi Ok-seop menunjukkan bahwa ketidakpercayaan adalah penyakit sosial yang menular seperti virus. Setelah rumor sinar-X itu menyebar, bukan hanya struktur rumah sakit yang goyah, tetapi juga hubungan pribadi. Ketika Yoon-Young mulai meragukan Sung-Won dan sebaliknya, kesalahpahaman kecil berkembang menjadi jurang besar. Film ini seolah berkata bahwa cinta tidak runtuh karena badai besar, tetapi karena tetesan air kecil yang tidak pernah dibicarakan.

Sinematografi yang Tenang dan Kontemplatif

Meskipun membawa tema besar dan situasi kacau, Maggie tampil dengan sinematografi yang tenang dan penuh ruang napas. Warna-warna pastel, komposisi shot yang simetris, dan pergerakan kamera yang minim menciptakan kesan lembut dan hampir meditatif. Kontras ini menjadikan absurditas dalam cerita terasa makin kuatketenangan visual bertabrakan dengan kekacauan emosional karakter.

Long take, framing statis, dan gaya dokumenter halus memberikan ruang bagi penonton untuk merenung. Meskipun di beberapa adegan musik yang hadir menambahkan kesan komedi absurd yang getir, dan menjadikan sebuah perpaduan audio visual yang epik, film ini tidak menghadirkan musik dramatis seperti pada film-film thriller pada umumnya yang mendorong emosi memuncakjustru pada Maggie keheningan menjadi alat dramatik utama.

Kesunyian membuat setiap retakan hubungan terasa lebih tajam.

Simbolisme, Realisme Magis, dan Perspektif Maggie sang Ikan

Maggie bukan sekadar drama tentang rumor dan retakan hubungan manusia; film ini memanfaatkan realisme magis sebagai bahasa visual untuk mengungkapkan perasaan dan kecemasan kolektif. Realisme magis, sebuah istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh kritikus seni Franz Roh (1925) dan kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Angel Flores (1955) dalam konteks naratif, memungkinkan sesuatu yang mustahil menjadi mungkin tanpa perlu penjelasan logisseperti lubang-lubang raksasa yang muncul ditengah kota, sesuatu yang mustahil menjadi mungkin tanpa perlu penjelasan logisseperti lubang-lubang raksasa yang muncul di tengah kota, atau ikan bernama Maggie yang seakan memahami kompleksitas hubungan manusia.


Adegan ketika jalan tiba-tiba amblas dan menelan motor-motor warga menjadi salah satu contoh visual yang paling kuat. Tidak ada penjelasan ilmiah, tidak ada figur otoritas yang bisa menenangkan warga. Yang ada hanya kekacauan dan rasa takutseolah dunia fisik ikut rapuh mengikuti dunia psikis para karakternya. Lubang itu adalah metafora nyata tentang ketidakpastian yang bisa muncul tiba-tiba dan mengubah hidup tanpa peringatan.

Selain
itu adegan ketika Yoon-Young dan Sung-Won berdiri berseberangan di dapur, tidak saling memandang,hanya diisi dengan napas yang berat, menunjukkan bagaimana hubungan bisa terasa jauh bahkan ketika fisiknya sangat dekat. Tidak ada teriakan, tidak ada drama besarhanya diam yang terasa nelangsa, dan dari situlah penonton memahami bahwa retakan hubungan mereka sudah mulai melebar.

Maggie sang Ikan

Perspektif naratif dari Maggie, sang ikan, memberikan jarak ironi sekaligus kejujuran polos. Hewan tidak berurusan dengan moralitas manusia, rasa malu, atau gengsi. Kalimat narasinya yang simpel namun tajam membuat kita melihat absurditas manusia dari sudut pandang luarseakan berkata bahwa

manusia sering terlalu rumit untuk urusan yang sebenarnya sederhana: percaya atau tidak percaya.

Komedi Absurd sebagai Kritik Sosial

Salah satu elemen paling menonjol dari Maggie adalah penggunaan komedi absurd sebagai strategi penceritaan. Alih-alih menempatkan humor sebagai distraksi, Yi Ok-seop justru menjadikan keanehan dan kelucuan situasional sebagai cermin realitas manusia modern. Adegan-adegan seperti munculnya lubang-lubang raksasa yang menelan kendaraan tanpa penjelasan logis, orang-orang yang panik karena sinar-X anonim, atau dialog yang kadang seperti tidak masuk akal, menciptakan tawa yang getir. Penonton tertawa bukan karena lucu, tetapi karena absurdnya sangat dekat dengan kenyataan. Komedi dalam film ini lahir dari ironi: manusia sering kali lebih sibuk menyembunyikan kesalahan daripada memperbaikinya, lebih takut terhadap malu daripada terhadap kerusakan yang nyata. Humor absurd menjadi kritik terhadap masyarakat yang hidup dalam budaya curiga dan paranoia. Dunia Maggie terasa seperti karikatur realitas kitaaneh, berantakan, namun tetap harus dijalani.

Ending: Klimaks yang Tiba-Tiba, Kesengajaan dalam Ketidakselesaian

Bagian paling ikonik dalam Maggie adalah akhirnya yang tiba-tiba—pada momen ketika segalanya sedang mencapai puncak ketegangan, layar justru memudar dan film selesai. Seolah-olah Yi Ok-seop berbisik kepada penonton: tidak semua jawaban harus diberikan.

Pilihan Yi Okseop untuk menutup Maggie pada momen ketika konflik emosional mencapai puncak tanpa memberikan jawaban tegas, sangat selaras dengan pemikiran kritikus film Prancis André Bazin, tokoh utama teori sinema realis. Bazin berpendapat bahwa tugas film bukan untuk menjelaskan atau menyimpulkan kehidupan, melainkan membiarkan realitas bernafas dan memberikan ruang bagi penonton untuk menciptakan pemaknaan mereka sendiri. Menurutnya : 
ambiguitas adalah kejujuran artistik: hidup tidak pernah selesai dirangkum dalam satu jawaban pasti.

 


Dalam adegan terakhir, ketika lubang besar di tengah kota semakin membesar dan Yoon-Young berlari ke arah Sung-Won, dunia seakan runtuh, kemudian YoonYoung berdiri di tepi bekas rekahan tanah itu berusaha mencari sosok Sung-won yang terjatuh ke dasar lubang - sementara kamera menjaga jarak dan musik perlahan naik—film seolah sengaja menghentikan waktu tepat sebelum ketegangan mendapatkan hasilnya. Tidak ada narasi penutup, tidak ada resolusi dramatis; hanya ekspresi tubuh mereka, dan musik yang terus memuncak. Bazin menyebut pendekatan ini sebagai bentuk "respect for the ontology of reality": membiarkan penonton mengalami perasaan alihalih diberi tahu apa yang harus dirasakan.

Dengan menghentikan film justru ketika klimaks emosional baru mulai memuncak, Yi Okseop menciptakan pengalaman yang resonansinya muncul setelah layar hitambukan di dalam film itu sendiri. Ini yang membuat ending Maggie terasa ikonik: bukan apa yang terjadi, tetapi apa yang tidak diperlihatkan

Pada akhirnya, Maggie bukan sekadar film indie yang “unikatau “absurd” untuk dinikmati sambil lalu. Keberaniannya mengeksplorasi realisme magis, absurditas, dan kritik sosial lewat visual yang simbolik membuat film ini menempati posisi khusus di antara karya-karya arthouse Korea Selatan. Pengakuan tersebut bukan tanpa alasan—film ini diputar perdana di ajang bergengsi Busan International Film Festival (BIFF) 2018, di mana Lee Joo-young meraih penghargaanActress of the Year” berkat performanya yang rapuh sekaligus kuat sebagai Yoon-young. Selain itu, Maggie juga mendapat pengakuan di segmen “Korean Cinema Today – Vision”, memperkuat reputasinya sebagai film yang berani menantang wujud dan gaya film yang biasa.

Justru karena keberaniannya ini, Maggie terasa penting untuk ditontonterutama bagi para penonton yang ingin mencari film yang tidak hanya menghibur, tetapi juga memancing refleksi atas rasa percaya, prasangka, dan cara kita memandang sesama. Maggie mengajak kita bertanya kembali: Seberapa sering kita meragukan orang lain sebelum memahami mereka? Dan seberapa sering kita lupa melihat bahwa kebenaran kadang sesederhana berani jujur pada diri sendiri?

Jika kamu suka atau penasaran dengan film yang terkesan lembut tapi menggugah, aneh tapi menyentuh, penuh humor sekaligus getir, maka Maggie adalah film yang layak untuk ditonton—dan mungkin, akan menjadi salah satu film yang membekas jauh setelah kredit filmnya selesai bergulir.




This post have 0 komentar

This Is The Newest Post
Previous article Previous Post