close

Tuesday, December 02, 2025

author photo



Film Monster (2023) karya sutradara Jepang Hirokazu Kore-eda merupakan salah satu film yang paling banyak dibicarakan karena pendekatannya yang emosional, sensitif, dan berlapis. Tidak hanya sekadar drama keluarga atau konflik sekolah, Monster mengupas isu yang jauh lebih kompleks: bahaya prasangka, kekerasan verbal, perundungan, serta normalitas orientasi seksual yang dipaksakan oleh masyarakat.

Dengan struktur tiga perspektif yaitu ibu, guru, dan anak-anak - Kore-eda mengajak penonton mempertanyakan satu hal penting:     
                 

Siapa monster yang sebenarnya? 

Monster bukan selalu seseorang yang melakukan kekerasan secara fisik. Monster bisa muncul dari sikap masyarakat yang terlalu cepat menghakimi tanpa memahami. Monster adalah sistem yang membungkam suara anak-anak, reputasi yang lebih penting dari kebenaran, dan ketidakpedulian yang menghancurkan keberanian seseorang untuk jujur. Kita semua bisa menjadi monster ketika kita memilih prasangka daripada empati.


Istilah “Otak Babi” dan Dampaknya

Salah satu elemen paling kuat dalam film ini adalah hinaan “otak babi” yang diarahkan kepada Minato, seorang anak yang dianggap aneh dan bermasalah. Awalnya terlihat sepele, tapi film ini menunjukkan bahwa kekerasan verbal dapat melumpuhkan mental seseorang, hinaan menciptakan isolasi sosial, stereotip menjadi racun yang merusak kepercayaan diri, dan seorang anak dapat kehilangan ruang untuk membela diri ketika orang dewasa tidak benar-benar mendengar. Kata “otak babi” menjadi simbol bahwa dunia ini sering terlalu cepat untuk menghakimi, dan terlalu lambat untuk mengerti.

Monster (2023)
2h 7m.

Monster bukan dilahirkanmereka diciptakan dari ketidakpedulian

Tidak ada anak yang terlahir sebagai pelaku atau penyebab masalah. Lingkungan, tekanan sosial, dan kurangnya ruang untuk didengar membuat seseorang berubah defensif, agresif, atau tertutup. Ketika sistem gagal melindungi, korban bisa berubah menjadi sosok yang dianggap "bermasalah," bukan karena sifatnya, tapi karena luka yang tidak terlihat.

Tiga Perspektif, Satu Kebenaran
Film Monster disusun dengan pendekatan Rashomon Style, di mana satu peristiwa diceritakan dari sudut pandang berbeda:
1. Sudut pandang Saori (Ibu Minato): Ia percaya guru adalah penyebab semua penderitaan anaknya.
2. Sudut pandang Hori (guru) : Ia menjadi korban gossip, tekanan institusi sekolah, dan kehancuran reputasi.
3. Sudut pandang Minato dan Yori (anak-anak) : Pandangan yang paling jujur, tetapi paling diabaikan.
Perbedaan perspektif ini membuka kenyataan bahwa kebenaran bukan milik siapa pun, kebenaran adalah ruang di antara semua sudut pandang. Tidak ada kebenaran tunggal. Manusia cenderung percaya versi yang paling menguntungkan diriya. Film ini mengingatkan memahami seseorang membutuhkan kerendahan hati untuk mendengarkan, bukan hayanya membela diri. Kebenaran hanya muncul Ketika semua diberi ruang, terutama suara
yang paling lemah.

Normalitas Orientasi Seksual : Siapa yang Menentukan?

Di balik konflik sosial dan emosi, Monster dengan sangat lembut menggambarkan kedekatan antara Minato dan Yori, seorang anak yang juga mengalami penolakan dan penghakiman. Kore-eda tidak memberi label - apakah mereka gay, queer, atau hanya dua anak yang saling mencintai sebagai manusia.  Dan di situlah pesan pentingnya: Mengapa perasaan harus diberi label dulu untuk dianggap benar? Karena masyarakat seringkali lebih fokus pada kategori daripada kemanusiaan. Kita terbiasa menilai berdasarkan norma yang diajarkan, bukan pada perasaan yang dirasakan seseorang. Padahal cinta, kedekatan, dan kehangatan adalah kebutuhan manusia - bukan ideologi. 

Sejak kapan “normal” menjadi alasan untuk menyakiti? Standar normal sering digunakan sebagai alat untuk menekan dan menyingkirkan yang berbeda. Ketika orang merasa takut terhadap hal yang tidak mereka pahami, mereka menyerang. Tetapi perbedaan bukan ancaman - melainkan bentuk lain dari keindahan manusia. Tekanan masyarakat membuat mereka takut untuk tampil apa adanya. Mereka dipaksa merasa salah hanya karena tidak sesuai kotak hetero-normatif yang diciptakan orang dewasa. Monster menjadi kritik tajam bahwa stigma dapat membunuh kejujuran, ketakutan kolektif menciptakan kebencian, anak-anak jauh lebih murni daripada orang dewasa yang berpura-pura benar. 

Simbol Visual: Terowongan, Hujan, dan Badai

Kekuatan film ini juga terletak pada simbolisme visual yang dalam. Terowongan melambangkan ruang aman, tempat Minato dan Yori bisa melakukan apa saja tanpa topeng. Dunia memanggil mereka salah, tapi terowongan seperti memanggil mereka pulang. Hujan dan badai menjadi representasi dari ketegangan dan tekanan emosional. Badai adalah dunia luar yang penuh kekerasan sosial, dan hujan menjadi proses pembersihan menuju kejujuran. Sedangkan sepatu merah sebagai simbol kasih sayang yang disalahartikan menjadi bukti sebuah kesalahan, pengingat untuk kita bahwa dunia sering salah menilai karena tidak mau mendengar. 

Open-Ending Sebuah Refleksi untuk Kita

Adegan terakhir ketika Minato dan Yori berlari menuju cahaya dibiarkan ambigu. Tidak jelas apakah mereka selamat atau tidak. Tetapi Kore-eda mengarahkan penonton pada refleksi yang lebih besar yaitu mereka akhirnya bebas, meski dunia menolak menerima, mereka menemukan cahaya setelah melewati kegelapan panjang dan akhir cerita ini bukan tentang kematian, tetapi tentang kemenangan kecil atas penindasan.

Kore-eda melalui ending yang terbuka ini mengajak kita untuk bertanya: Akankah kita terus menciptakan monster dari prasangka kita sendiri? Film ini mengajak kita memilih. Dunia bisa berubah jika kita berhenti menghakimi dan mulai mendengar. Jika tidak, kita akan terus mencetak korban baru yang dapat menyebabkan mereka membungkam diri mereka dalam gelap karena Monster sangat dekat dengan situasi sosial kita hari ini, perundungan di sekolah yang semakin brutal, normalisasi hinaan verbal sebagai candaan, tekanan terhadap ekspresi gender & orientasi seksual, sistem pendidikan yang lebih menjaga citra dan nama baik daripada anak-anaknya, orang tua dan guru yang lebih ingin dianggap benar daripada benar-benar memahami. 

Kemudian dengan fakta realitas di atas, berapa banyak Yori dan Minato yang sedang membungkam dirinya di dunia nyata? Jauh lebih banyak daripada yang kita bayangkan. Setiap sekolah, setiap rumah, setiap komunitas mungkin menyimpan kisah serupa. Tetapi kita tidak melihatnya karena kita tidak mendengar cukup dekat.

Ending dari film ini rasanya bukan soal hidup atau mati melainkan tentang kebebasan dan keberanian menjadi diri sendiri setelah dunia menolak menerima.

Kesimpulan

Monster bukan hanya film, ia adalah refleksi sosial yang tajam. Film ini membuka mata bahwa monster tidak selalu punya wajah menakutkan — terkadang monster itu adalah prasangka, fitnah, kebutuhan untuk terlihat benar, dan rasa takut terhadap perbedaan. Monster menegakkan pelajaran penting bahwa manusia tidak membutuhkan label untuk mencintai. Empati jauh lebih penting daripada penghakiman. Dan pada akhirnya, dunia akan menjadi lebih baik ketika kita belajar mendengar — bukan hanya menilai. 

This post have 0 komentar

Next article Next Post
Previous article Previous Post