close

Wednesday, July 21, 2021

author photo

sekolah sinyal kualitas


PojokReview - Sekolah, atau kampus, ketika awal didirikan sebenarnya hanya punya satu misi, mencerdaskan anak bangsa. Bisa dikatakan, kalau Anda tidak sekolah maka Anda tidak akan cerdas. Begitu premis yang menjadi titik awal kenapa sekolah harus didirikan.


Namun semakin lama, tempat untuk belajar dan mencerdaskan diri justru semakin banyak. Anda bisa mendapatkan buku apapun yang Anda ingin dapatkan hanya dengan "searching" di Google. Anda juga bisa mendengarkan seorang guru mengajar lewat YouTube, dan sebagainya. Intinya, tempat untuk mencerdaskan anak bangsa sudah terlalu banyak dan sekolah bukanlah satu-satunya.


Maka, sekarang apakah ada lagi visi sekolah selain mencerdaskan anak bangsa? Yah, di dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah "signaling" bukan "learning". Bisa dikatakan seperti ini, sebelum mulai belajar, anak memang sudah cerdas duluan. Jadinya, sekolah tersebut tidak hanya sebagai tempat belajar, melainkan sudah beralih fungsi sebagai "sinyal kualitas" peserta didiknya.


Bila Anda diminta mencari 10 pekerja untuk perusahaan Anda, katakanlah Anda bekerja di bagian HRD. Tentunya, atasan Anda menginginkan pekerja terbaik bukan? Baik secara kualitas, maupun attitude. Bayangkan saja, bila ada 1.000 calon pekerja yang masuk, bagaimana cara Anda menyaringnya di awal?


Yah, rata-rata HRD akan mengambil jalan paling "tradisional" yakni melihat calon pekerja tersebut lulusan dari mana. Karena itu, bisa Anda artikan bahwa universitas top di Indonesia, seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), ITB, IPB, dan sebagainya akan mendapatkan perhatian lebih bukan?


Di bidang kesenian misalnya, meski Anda masih muda dan baru muncul di dunia kesenian, tapi dengan embel-embel tamatan IKJ misalnya, tentunya Anda akan mendapatkan perhatian lebih. Pertanyaannya, kenapa bisa begitu?


Sekolah sebagai Sinyal Kualitas


Kembali ke cerita mencari 10 pekerja dari 1000 pendaftar yang masuk. Bagaimana cara menyeleksi dan "menyingkirkan" 9.990 pekerja yang lain? Rata-rata akan menggunakan cara yang paling cepat, yakni melihat almamater calon pendaftar. 


Apakah sudah dipastikan tamatan UI, UGM, ITB, dan universitas "bermerek" tadi lebih baik dari pada universitas lainnya? Tentunya masih belum bisa dipastikan. Tapi, satu hal yang pasti adalah universitas bermerek tersebut punya "sinyal kualitas". 


Siapa yang akan meremehkan nama Mark Zuckeberg hanya karena dia Drop Out? Tentunya tidak semudah itu, karena ia berhasil masuk ke Universitas Harvard. Dari 100 orang yang pernah juara olimpiade matematika mendaftar ke Harvard, hanya 4 orang yang diterima. Dari, 1000 orang, hanya 40 yang diterima. Berapa kemungkinan peluang diterima di Harvard? Yah, hanya 4 persen!


Di antara yang ditolak atau tidak berhasil masuk tersebut, ada juga yang orang tuanya kaya raya, juara satu di kelas berturut-turut dan sebagainya. Hal itu disebabkan karena untuk masuk ke Harvard, harus melalui seleksi yang ketat dan sangat sulit. Maka dari itu, akan banyak orang yang berpendapat bahwa orang yang diterima di Harvard adalah orang-orang yang berkualitas.


Bahkan yang drop out dari Harvard pun semacam Bill Gates, Mark Zuckeberg dan sebagainya juga menjadi orang-orang yang sukses, bahkan terpandang di dunia.


Hanya dengan diterima saja, bahkan Anda belum belajar, namun orang-orang sudah percaya dengan kualitas Anda. Itulah yang dimaksud "sinyal kualitas".


Ciri sekolah/kampus "sinyal kualitas"


Ciri pertama: menampung siswa/mahasiswa cerdas dengan ekonomi yang tinggi


Mahasiswa/siswa dengan latar belakang ekonomi tertentu, kita bagi menjadi empat kuadran. 


  1. Kuadran pertama adalah siswa yang cerdas, dengan ekonomi yang tinggi. 
  2. Kuadran kedua adalah siswa yang cerdas dengan ekonomi yang rendah. 
  3. Kuadran ketiga adalah siswa yang kurang cerdas dengan ekonomi yang tinggi. 
  4. Terakhir, kuadran keempat adalah siswa yang kurang cerdas dengan ekonomi yang rendah.


Universitas atau sekolah "tak bermerek" memang kebanyakan menampung mahasiswa/siswa kuadran kedua dan keempat. Universitas swasta yang "cukup bermerek" akan menampung mahasiswa kuadran ketiga. Nah, universitas/sekolah "sinyal kualitas" ciri-ciri pertamanya adalah menampung sebagian besar mahasiswa/siswa yang masuk dalam kuadran pertama.


Jadi, bila ada siswa/mahasiswa dari "kuadran yang lain" masuk ke sekolah/kampus tersebut, maka mereka akan terkucilkan, atau setidaknya merasa kurang percaya diri. Bayangkan saja bila separuh lebih dari isi sekolah adalah siswa yang cerdas, serta punya ekonomi yang tinggi. Seperti apa sekolah itu? 


Siswa yang cerdas, mendapatkan fasilitas sekolah yang mumpuni, karena sangat lengkap. Kenapa lengkap? Karena biaya sekolah yang tinggi. Siswa juga bertambah cerdas dengan tambahan les bahkan privat. Begitu juga kampus "sinyal kualitas", bahkan sebelum mulai belajar sekalipun, mahasiswanya sudah cerdas duluan.


Ciri kedua: seleksi masuk ketat dan sulit


Ciri kedua adalah, bahkan bila Anda kalah cerdas dan kalah kaya dari siswa lainnya, Anda bahkan juga tidak masuk ke sekolah/kampus "sinyal kualitas" ini. 


Bila ada seorang yang keuangannya tidak begitu tinggi, dan punya nilai 90, dan ada seorang yang keuangan keluarganya sangat baik tapi nilainya 89, maka mana yang akan masuk ke sekolah "sinyal kualitas" ini? Yah, yang nilainya 89 tapi ekonominya mumpuni, tentu yang itu yang akan diterima.


Beda cerita bila ada seorang yang ekonominya pas-pasan, tapi nilainya 99, dibandingkan dengan pemilik nilai 89 dari keluarga kaya. Maka bila harus memilih satu, bisa jadi sekolah "sinyal kualitas" ini akan memilih yang ekonominya pas-pasan dengan opsi beasiswa.


Ini menjadi ciri khas sekolah sinyal kualitas ini, hanya siswa yang benar-benar cerdas saja yang bisa masuk. Syarat berikutnya bila Anda cerdas, tapi tidak benar-benar cerdas adalah benar-benar kaya!  


Seleksi yang sangat ketat dan sulit ini membuat kualitas dari sekolah/kampus "sinyal kualitas" ini tetap terjaga. Jadi, lulusannya akan tetap dipandang sebagai orang yang berkualitas pula. 


Lalu, bagaimana lulusan sekolah/kampus tak bermerek?


Harus diakui bahwa penulis artikel ini juga lulusan universitas "tak bermerek" yang pada akhirnya cukup kesulitan mendapatkan perhatian atau peluang ketika bersaing dengan lulusan sekolah/kampus "sinyal kualitas". Kepercayaan publik tak bisa diubah dengan sekejap mata, dan hal itu mungkin dianggap tidak adil bagi sebagian besar orang.


Ada seseorang yang sangat cerdas, namun ekonomi keluarganya cukup pas-pasan sehingga sangat sulit untuk sekedar bermimpi kuliah di luar negeri, apalagi Harvard. Ada seseorang yang lainnya, sama cerdasnya, tapi didukung dengan ekonomi keluarga akhirnya bisa kuliah di Harvard. Setelah keduanya lulus, apa yang akan terjadi?


Penelitian di Italia telah membuktikan bahwa lulusan kampus "sinyal kualitas" sebagian besar akan punya pekerjaan dan penghasilan yang jauh lebih besar (dengan selisih hingga $10.000 per tahun) dibanding dengan lulusan kampus biasa. Padahal, objek penelitian tersebut adalah mahasiswa yang punya hasil tes IQ dan kecerdasan yang sama, paling-paling hanya selisih 2-5 poin saja. Dengan kata lain, orang yang punya poin kecerdasan anggap saja 800 tapi kuliah di Harvard, akan punya banyak "previlege" dibandingkan dengan orang yang punya poin kecerdasan yang sama tapi kuliah di "kampus tak bermerek".


Hidup adalah ketidakadilan


Ketika disebut bahwa "sinyal kualitas" adalah sebuah ketidakadilan, maka bisa dikatakan hal itu adalah hal yang sangat benar. Bahkan ketidakadilan sudah terjadi ketika Adam dan Hawa masih hidup, bukan? Bukankah anaknya bertarung karena masalah "ketidakadilan"? Yah, yang satu dinikahkan dengan saudarinya yang cantik, sedangkan yang satu lagi dinikahkan dengan saudarinya yang kurang cantik.


Lebih tidak adil lagi, ketika kita mengetahui ada pula yang masuk ke sekolah "sinyal kualitas" tersebut dengan cara menyogok, mengandalkan jabatan, mengandalkan orang dalam, dan sebagainya. Tidak hanya di Indonesia, bahkan sejumlah penelitian menyebutkan bahwa praktik tersebut juga masih ditemukan di empat universitas terbesar dan terbaik di dunia ini.


Kenapa ada orang tua yang rela menyogok, atau mengandalkan jabatannya, atau malah mengandalkan orang dalam agar anaknya masuk ke sekolah/kampus "sinyal kualitas" tersebut? Alasannya, yah karena berbagai keuntungan yang didapatkan di anaknya apabila berhasil diterima di sana. 


Jadi, apakah sekolah masih merupakan tempat untuk mencerdaskan anak bangsa? Mungkin iya, tapi sekarang fungsi sosial tersebut sudah beralih menjadi komersial. Sekolah/kampus "sinyal kualitas" tadi menjadi salah satu buktinya. 


Apakah Anda pernah mendapat pertanyaan seperti ini;


  • "Bila sekolah ditujukan untuk mencerdaskan siswa, kenapa pula sekolah justru memilih siswa yang cerdas untuk masuk ke sana?" 
  • "Kenapa seseorang harus membayar sangat mahal untuk pendidikan? Apa benar pendidikan itu mahal?"
  • "Apa yang membuat tamatan UI (Universitas Indonesia) berbeda dengan tamatan UT (Universitas Terbuka), padahal apa yang dipelajari juga sama?"
  • Dan lain-lain


Bila pernah, maka apa yang tertulis di artikel ini adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.

This post have 0 komentar

Next article Next Post
Previous article Previous Post