Ada satu jenis film
yang bikin kita nggak cuma nonton, tapi ikut merenung soal arti keberadaan diri
sendiri contohnya Big World. Dari judulnya kita bisa merasakan banyak hal,
dunia yang terasa luas, penuh kemungkinan, dan tentunya menantang, kadang
absurd, ngga deh emang absurd, yang harus dihadapi oleh siapa pun yang ingin
eksis dengan caranya sendiri.
Tentang
Apa Sih Film Ini?
Disutradarai oleh Yang Lina, Neflix merilis film berdurasi dua jam lebih sebelas menit yang mengangkat
kisah Liu Chunhe yang diperankan oleh Jackson Yee, seorang pria muda dengan cerebral palsy (kelumpuhan otak), yang berjuang hidup
mandiri dan menentukan pilihannya sendiri. Tapi yang bikin film ini lebih
dari sekadar kisah inspiratif adalah konflik Chunhe dengan ibunya, Chen Lu, dan
perjuangannya untuk menemukan makna hidupnya sendiri di dunia yang membatasi. Chunhe
ingin membuat keputusan sendiri—sekolah, mimpi, bahkan langkah-langkah kecil
dalam kesehariannya, tapi ibunya terus membatasi dengan niat melindungi. Adegan
mereka berantem terasa seperti manifestasi dari dilema eksistensialis:
kebebasan individu versus batasan eksternal.
Eksistensialisme
yang Terlihat Jelas
Menurut filsafat
eksistensialisme: hidup itu absurd, manusia bebas, tapi harus bertanggung jawab
atas pilihan sendiri. Dan Chunhe jelas mengalami hal ini:
Absurd: Dunia nggak
ramah buat Chunhe, karena keterbatasannya jelas setiap langkah yang ia ingin
ambil jadi terasa berat, tapi hidup tetap harus dijalani. Adegan ia
belajar sendirian di kamar sambil menatap keluar jendela bikin kita bisa
ngerasain absurdnya eksistensi—apa artinya keberadaanku kalau setiap langkah
selalu penuh rintangan?
Kebebasan dan tanggung
Jawab: Chunhe harus bersiteru dengan ibunya karena sang ibu tidak membiarkannya
untuk menentukan jalan hidupnya sendiri ia menentang dan berusa meyakinkan
bahwa ia juga berhak membuat keputusan atas dirinya sendiri, itu contoh
kebebasan individu. Ia sadar kalau memilih hidup mandiri berarti harus
menanggung konsekuensi sendiri, termasuk risiko kegagalan atau frustrasi.
Kesadaran diri dan autentisitas: Chunhe sadar akan keterbatasannya tapi tetap mencari cara untuk hidup autentik. Ia nggak pura-pura normal, tapi tetap berusaha memberi makna pada eksistensinya.
Dinamika
Keluarga sebagai Refleksi Eksistensial
Yang bikin film ini
kuat adalah ketegangan antara cinta keluarga dan kebebasan personal. Ibunya
bukan musuh, tapi representasi dunia yang membatasi. Saat mereka
bertengkar, aku merasakan dilema eksistensial Chunhe: apakah aku hidup untuk
diriku sendiri, atau terus menuruti ekspektasi orang lain? Film ini
memperlihatkan bahwa kasih sayang kadang datang dengan batasan, tapi di balik
itu tetap ada niat tulus.
Hal
yang Paling Nempel
Kita nggak bisa lupain
momen ketika Chunhe menatap ibunya dengan campuran marah, sedih, dan ingin
dimengerti ketika dia memberi tahu ibunya bahwa ia diterima kerja di sebuah
kafe dan ingin melanjutkan pendidikan sebagai guru di universitas biasa bukan universitas
yang dikhususkan untuk seseorang yang mengalami disabilitas seperti dirinya. Adegan
itu, dikombinasi dengan narasi internal dan gestur tubuhnya, bikin kita bisa
merasakan langsung pergulatan eksistensialnya: kebebasan, tanggung jawab,
absurditas, dan pencarian makna hidup.
Selain itu ada satu
adegan yang ternyata bisa membuat penonton benar-benar bercucuran air mata, Chunhe
lagi duduk di meja makan, ceritanya dia baru pulang dari kafe di mana ia
diterima kerja untuk pertama kali, dia bikin marsmellow, tapi ternyata kafenya
itu nerima dia cuma buat dijadiin konten sosial, akhirnya dia pulang hari itu
dengan bawa marsmellow yang udah dia bikin di kafe tadi sebagai reward, dia
pulang ngasih neneknya hasil buatannya sedangkan ibunya lagi berada di luar
rumah, waktu ditinggal sebentar sama neneknya ke dapur Chunhe mulai makan semua
marsmellow itu sekaligus sampai dia tersedak, batuk-batuk dan susah napas,
sampai neneknya harus ngeluarin satu-satu marsmellow dari mulutnya Chunhe dan
berakhir Chunhe di bawa ke rumah sakit.
Momen ini penuh lapisan
emosi dan konflik batin Chunhe. Adegan
di atas merepresentasikan bagaiaman hal itu bisa bikin Chunhe merasa hidupnya
“diatur” sama orang lain, seolah tindakannya nggak punya makna sendiri—dia
bebas di luar kafe, tapi tetap dikekang oleh persepsi orang. Saat dia bawa
pulang marsmellow itu, mungkin dia ingin “menuntut hak” untuk merayakan
pencapaiannya sendiri, walau sekecil apapun. Dan marsmellow yang dia buat
sendiri adalah simbol pencapaian dan usaha pribadinya.
Memberikan hasil
buatannya ke nenek bisa jadi cara Chunhe merasa “aku ada, aku mampu”, meski dunia di luar nggak mengakui karyanya.
Saat nenek pergi ke dapur sebentar, dia sendirian menghadapi kenyataan itu,
tanpa pengawasan—ini bikin dia bertindak ekstrem, seperti ingin “menyerap”
seluruh penghargaan itu sendiri. Ketika Chunhe makan semua marsmellow sekaligus
sampai tersedak, ini bisa dilihat sebagai manifestasi frustrasi dan rasa sakit
batin yang selama ini dia pendam. Tubuhnya jadi medium untuk mengekspresikan
rasa ditolak dan kehilangan kendali. Dalam perspektif eksistensial, itu juga
tanda “kebebasan individu yang ekstrem”—dia membuat pilihan sendiri, meski
pilihan itu membahayakan dirinya.
Akhirnya nenek harus menolong, dan Chunhe dibawa ke rumah
sakit. Ini memperlihatkan bahwa dalam eksistensialisme, kebebasan selalu datang
dengan tanggung jawab. Pilihan Chunhe nggak cuma berdampak ke dirinya, tapi
juga ke orang-orang yang peduli padanya. Momen ini menyoroti absurditas
hidupnya: dunia yang dia jalani seakan nggak peduli dengan perjuangannya, tapi
konsekuensinya nyata dan brutal.
Kalau digambarkan
dari pikiran Chunhe saat itu, mungkin kita bisa merasa dia bilang:
"Aku bikin ini
sendiri. Ini hasil jerih payahku. Tapi kenapa orang-orang cuma liat aku sebagai
tontonan? Kalau dunia nggak bisa ngargain aku, biarlah aku rasain sendiri. Aku
yang pegang semuanya, aku yang ngerasain semuanya."
Membahas bahwa pilihan kita juga
berdampak terhadap orang lain dan memiliki konsekuensi yang nyata dan bisa jadi
sangat brutal, kita bisa mengungkit adegan di mana Chunhe mengungkapkan
sebenarnya ia tidak ingin dilahirkan, bahwa ini semua keputusan dan salah ibunya.
Bahwa keputusan yang diambil ibunya untuk melahirkannya penuh konsekuensi dan
berdampak begitu besar kepada anak itu sendiri yang menjalani kehidupan. Seolah
orang tua dan anak sudah ditakdirkan untuk saling menyakiti dan akan terus berulang
seperti itu dari generasi ke generasi, hal ini juga bisa dilihat dari bagaimana
hubungan Ibu Chunhe dan nenek Chunhe itu sendiri, saling menyayangi tapi sebenarnya
juga penuh luka trauma dan saling menyakiti.
Kenapa
Film Ini Penting?
Big World penting
karena bukan cuma cerita tentang disabilitas. Ini film tentang manusia
menghadapi dunia yang absurd, tentang kebebasan personal yang diuji oleh cinta
dan batasan sosial, dan tentang pencarian makna eksistensi. Film ini
ngajak penonton nggak cuma menonton, tapi merenung: apa artinya hidup, apa
artinya bebas, dan bagaimana aku bisa eksis dengan autentik di dunia ini?
Kelebihan
& Kekurangan
Kelebihan: Akting
Jackson Yee luar biasa, chemistry dengan pemeran ibunya terasa nyata,
sinematografi indah, dan unsur eksistensialisnya bikin film ini lebih dalam
dari sekadar kisah perjuangan fisik.
Kekurangan: Beberapa
adegan pacing lambat, beberapa karakter pendukung bisa lebih dikembangkan
supaya dampaknya lebih terasa.
Kesimpulan
Big World bukan sekadar film tentang cerebral palsy. Ini film tentang konflik keluarga, kebebasan personal, dan pencarian makna hidup di dunia yang absurd. Kalau kamu mau nonton film yang nggak cuma menyentuh hati tapi juga bikin merenung soal eksistensi diri, Big World wajib banget masuk daftar nontonmu.
This post have 0 komentar