close

Friday, September 12, 2025

author photo

Big World (2024)


Ada satu jenis film yang bikin kita nggak cuma nonton, tapi ikut merenung soal arti keberadaan diri sendiri contohnya Big World. Dari judulnya kita bisa merasakan banyak hal, dunia yang terasa luas, penuh kemungkinan, dan tentunya menantang,  kadang absurd, ngga deh emang absurd, yang harus dihadapi oleh siapa pun yang ingin eksis dengan caranya sendiri. 


Tentang Apa Sih Film Ini? 


Disutradarai oleh Yang Lina, Neflix merilis film berdurasi dua jam lebih sebelas menit yang mengangkat kisah Liu Chunhe yang diperankan oleh Jackson Yee, seorang pria muda dengan cerebral palsy (kelumpuhan otak), yang berjuang hidup mandiri dan menentukan pilihannya sendiri. Tapi yang bikin film ini lebih dari sekadar kisah inspiratif adalah konflik Chunhe dengan ibunya, Chen Lu, dan perjuangannya untuk menemukan makna hidupnya sendiri di dunia yang membatasi. Chunhe ingin membuat keputusan sendiri—sekolah, mimpi, bahkan langkah-langkah kecil dalam kesehariannya, tapi ibunya terus membatasi dengan niat melindungi. Adegan mereka berantem terasa seperti manifestasi dari dilema eksistensialis: kebebasan individu versus batasan eksternal. 


Eksistensialisme yang Terlihat Jelas 


Menurut filsafat eksistensialisme: hidup itu absurd, manusia bebas, tapi harus bertanggung jawab atas pilihan sendiri. Dan Chunhe jelas mengalami hal ini: 

Absurd: Dunia nggak ramah buat Chunhe, karena keterbatasannya jelas setiap langkah yang ia ingin ambil jadi terasa berat, tapi hidup tetap harus dijalani. Adegan ia belajar sendirian di kamar sambil menatap keluar jendela bikin kita bisa ngerasain absurdnya eksistensi—apa artinya keberadaanku kalau setiap langkah selalu penuh rintangan? 

Kebebasan dan tanggung Jawab: Chunhe harus bersiteru dengan ibunya karena sang ibu tidak membiarkannya untuk menentukan jalan hidupnya sendiri ia menentang dan berusa meyakinkan bahwa ia juga berhak membuat keputusan atas dirinya sendiri, itu contoh kebebasan individu. Ia sadar kalau memilih hidup mandiri berarti harus menanggung konsekuensi sendiri, termasuk risiko kegagalan atau frustrasi. 

Kesadaran diri dan autentisitas: Chunhe sadar akan keterbatasannya tapi tetap mencari cara untuk hidup autentik. Ia nggak pura-pura normal, tapi tetap berusaha memberi makna pada eksistensinya. 


Dinamika Keluarga sebagai Refleksi Eksistensial 


Yang bikin film ini kuat adalah ketegangan antara cinta keluarga dan kebebasan personal. Ibunya bukan musuh, tapi representasi dunia yang membatasi. Saat mereka bertengkar, aku merasakan dilema eksistensial Chunhe: apakah aku hidup untuk diriku sendiri, atau terus menuruti ekspektasi orang lain? Film ini memperlihatkan bahwa kasih sayang kadang datang dengan batasan, tapi di balik itu tetap ada niat tulus. 


Hal yang Paling Nempel 


Kita nggak bisa lupain momen ketika Chunhe menatap ibunya dengan campuran marah, sedih, dan ingin dimengerti ketika dia memberi tahu ibunya bahwa ia diterima kerja di sebuah kafe dan ingin melanjutkan pendidikan sebagai guru di universitas biasa bukan universitas yang dikhususkan untuk seseorang yang mengalami disabilitas seperti dirinya. Adegan itu, dikombinasi dengan narasi internal dan gestur tubuhnya, bikin kita bisa merasakan langsung pergulatan eksistensialnya: kebebasan, tanggung jawab, absurditas, dan pencarian makna hidup. 


Selain itu ada satu adegan yang ternyata bisa membuat penonton benar-benar bercucuran air mata, Chunhe lagi duduk di meja makan, ceritanya dia baru pulang dari kafe di mana ia diterima kerja untuk pertama kali, dia bikin marsmellow, tapi ternyata kafenya itu nerima dia cuma buat dijadiin konten sosial, akhirnya dia pulang hari itu dengan bawa marsmellow yang udah dia bikin di kafe tadi sebagai reward, dia pulang ngasih neneknya hasil buatannya sedangkan ibunya lagi berada di luar rumah, waktu ditinggal sebentar sama neneknya ke dapur Chunhe mulai makan semua marsmellow itu sekaligus sampai dia tersedak, batuk-batuk dan susah napas, sampai neneknya harus ngeluarin satu-satu marsmellow dari mulutnya Chunhe dan berakhir Chunhe di bawa ke rumah sakit.



Momen ini penuh lapisan emosi dan konflik batin Chunhe.  Adegan di atas merepresentasikan bagaiaman hal itu bisa bikin Chunhe merasa hidupnya “diatur” sama orang lain, seolah tindakannya nggak punya makna sendiri—dia bebas di luar kafe, tapi tetap dikekang oleh persepsi orang. Saat dia bawa pulang marsmellow itu, mungkin dia ingin “menuntut hak” untuk merayakan pencapaiannya sendiri, walau sekecil apapun. Dan marsmellow yang dia buat sendiri adalah simbol pencapaian dan usaha pribadinya.


Memberikan hasil buatannya ke nenek bisa jadi cara Chunhe merasa “aku ada, aku mampu”, meski dunia di luar nggak mengakui karyanya. Saat nenek pergi ke dapur sebentar, dia sendirian menghadapi kenyataan itu, tanpa pengawasan—ini bikin dia bertindak ekstrem, seperti ingin “menyerap” seluruh penghargaan itu sendiri. Ketika Chunhe makan semua marsmellow sekaligus sampai tersedak, ini bisa dilihat sebagai manifestasi frustrasi dan rasa sakit batin yang selama ini dia pendam. Tubuhnya jadi medium untuk mengekspresikan rasa ditolak dan kehilangan kendali. Dalam perspektif eksistensial, itu juga tanda “kebebasan individu yang ekstrem”—dia membuat pilihan sendiri, meski pilihan itu membahayakan dirinya.


Akhirnya nenek harus menolong, dan Chunhe dibawa ke rumah sakit. Ini memperlihatkan bahwa dalam eksistensialisme, kebebasan selalu datang dengan tanggung jawab. Pilihan Chunhe nggak cuma berdampak ke dirinya, tapi juga ke orang-orang yang peduli padanya. Momen ini menyoroti absurditas hidupnya: dunia yang dia jalani seakan nggak peduli dengan perjuangannya, tapi konsekuensinya nyata dan brutal.


Kalau digambarkan dari pikiran Chunhe saat itu, mungkin kita bisa merasa dia bilang:


"Aku bikin ini sendiri. Ini hasil jerih payahku. Tapi kenapa orang-orang cuma liat aku sebagai tontonan? Kalau dunia nggak bisa ngargain aku, biarlah aku rasain sendiri. Aku yang pegang semuanya, aku yang ngerasain semuanya."



Membahas bahwa pilihan kita juga berdampak terhadap orang lain dan memiliki konsekuensi yang nyata dan bisa jadi sangat brutal, kita bisa mengungkit adegan di mana Chunhe mengungkapkan sebenarnya ia tidak ingin dilahirkan, bahwa ini semua keputusan dan salah ibunya. Bahwa keputusan yang diambil ibunya untuk melahirkannya penuh konsekuensi dan berdampak begitu besar kepada anak itu sendiri yang menjalani kehidupan. Seolah orang tua dan anak sudah ditakdirkan untuk saling menyakiti dan akan terus berulang seperti itu dari generasi ke generasi, hal ini juga bisa dilihat dari bagaimana hubungan Ibu Chunhe dan nenek Chunhe itu sendiri, saling menyayangi tapi sebenarnya juga penuh luka trauma dan saling menyakiti.


Kenapa Film Ini Penting? 


Big World penting karena bukan cuma cerita tentang disabilitas. Ini film tentang manusia menghadapi dunia yang absurd, tentang kebebasan personal yang diuji oleh cinta dan batasan sosial, dan tentang pencarian makna eksistensi. Film ini ngajak penonton nggak cuma menonton, tapi merenung: apa artinya hidup, apa artinya bebas, dan bagaimana aku bisa eksis dengan autentik di dunia ini? 


Kelebihan & Kekurangan 


Kelebihan: Akting Jackson Yee luar biasa, chemistry dengan pemeran ibunya terasa nyata, sinematografi indah, dan unsur eksistensialisnya bikin film ini lebih dalam dari sekadar kisah perjuangan fisik. 

Kekurangan: Beberapa adegan pacing lambat, beberapa karakter pendukung bisa lebih dikembangkan supaya dampaknya lebih terasa. 


Kesimpulan

Big World bukan sekadar film tentang cerebral palsy. Ini film tentang konflik keluarga, kebebasan personal, dan pencarian makna hidup di dunia yang absurd. Kalau kamu mau nonton film yang nggak cuma menyentuh hati tapi juga bikin merenung soal eksistensi diri, Big World wajib banget masuk daftar nontonmu. 

This post have 0 komentar

This Is The Newest Post
Previous article Previous Post