close

Saturday, September 13, 2025

author photo



Netflix menghadirkan miniseri berjudul Adolescence yang tayang perdana 13 Maret 2025. Hanya terdiri dari empat episode, tapi efeknya bisa nempel banget di kepala penonton. Disutradarai oleh Philip Barantini—yang sebelumnya terkenal lewat Boiling Point, semua episode direkam dengan teknik real-time one-shot. Penonton diajak masuk ke ruang, percakapan, dan rahasia dari karakter tanpa jeda, hal ini membuat penonton akhirnya seolah berada di labirin absurditas yang menekan. 


Realisme Teknis yang Mengikat

Semua episode diambil sekali jalan, tanpa potongan. Bukan cuma pamer teknis, kali ini netflix ingin membuat penontonnya merasakan “real time”: tiap napas, kata, gerakan tubuh, semuanya nggak bisa dihindari. Hasilnya, ketegangan terus berlanjut, susah buat “ngambil napas.” Emang kadang bikin capek, tapi nggak bisa dipungkiri pendekatan ini bikin intensitas psikologis terasa banget.

Bukan Tentang “Siapa”, Tapi “Kenapa”

Adolescence bukan cuma fokus ke siapa pelakunya, karena cerita dibagi jadi empat perspektif: interogasi polisi, penyelidikan sekolah, sesi psikolog, dan obrolan keluarga. Semua lapisan itu membuka motif, luka, dan pola sosial yang bikin Jamie—remaja yang jadi pusat cerita. Tema seperti toxic masculinity, bullying, pengaruh media sosial, dan komunikasi keluarga yang retak menjadi inti cerita.

Di sini Philip sang sutradara bukan cuma menghadirkan thriller, tapi juga studi sosial tentang bagaimana kurangnya kehadiran emosional bisa membuat identitas remaja jadi destruktif.

Akting yang Menyulut Luka Kolektif



Debut Owen Cooper sebagai Jamie cukup mengejutkan: ekspresinya mampu bergeser dari rapuh menjadi mengancam dalam hitungan detik, menegaskan kompleksitas remaja yang terluka sekaligus berbahaya. Stephen Graham sebagai sang ayah menghadirkan lapisan emosional yang lebih dewasa: rasa bersalah, kebingungan, dan refleksi warisan pola asuh yang retak. Pertemuan keduanya dalam ruang keluarga di episode terakhir menjadi salah satu adegan paling emosional sekaligus paling menyakitkan.


Absurd Tapi  Nyata

Salah satu kekuatan terbesar Adolescence adalah kemampuannya menghadirkan absurditas yang terasa realistis. Dalam tradisi Kafkaesque, absurditas muncul bukan dari hal-hal supranatural, melainkan dari sistem dan keadaan sehari-hari yang seharusnya melindungi manusia, namun justru menciptakan penderitaan.


Begitu pula dalam seri ini: absurditas muncul ketika dunia orang dewasa sibuk mencari penjelasan rasional lewat polisi, guru, psikolog, tetapi gagal menyentuh inti persoalan remaja yang sedang hancur. Kita melihat bagaimana Jamie berubah menjadi simbol dari sesuatu yang tidak masuk akal namun sangat mungkin terjadi: seorang anak yang ditelan algoritma dunia maya, ditambah keluarga yang abai, lalu tumbuh menjadi sosok berbahaya.


Inilah absurditas yang paling menakutkan: bukan karena mustahil, tetapi karena ia terasa dekat dengan realitas kita. Penonton dipaksa menghadapi kenyataan bahwa kehancuran bisa berawal dari hal-hal kecil yang dibiarkan, lalu berkembang menjadi sesuatu yang sistem pun tak mampu kendalikan.


Episode: Puncak dan Titik Lemah



Episode ketiga adalah titik klimaks naratif dan menjadikan psikolog yang tampil sebagai panggung absurditas. Setting-nya sederhana: ruangan psikolog, Jamie duduk di kursi, ditanya, dipancing, dan dipaksa mengungkap isi pikirannya. Namun justru dalam kesederhanaan ruang inilah intensitas emosional mencapai puncak.


  • Dialog yang Menusuk
    Percakapan Jamie dan psikolog pelan tapi dalam. Jamie awalnya defensif, sinis, tapi lambat laun semua lapisan terbuka: kemarahan, rasa ditinggalkan, obsesi dari dunia online. Dialog ini kayak pisau bedah yang menunjukkan sisi rapuh sekaligus mengancam Jamie.

  • Owen Cooper Bersinar
    Akting Owen di episode ini top banget. Dari anak bingung yang ingin dimengerti, tiba-tiba jadi dingin dan menakutkan. Kamera one-shot menangkap semuanya dan bikin penonton nggak bisa “jaga jarak”: ikut iba tapi juga ngeri.

  • Psikolog sebagai Simbol Sistem
    Psikolog di sini bukan cuma karakter, tapi lambang sistem yang berusaha “memahami” dan “menyembuhkan.” Tapi beberapa luka terlalu dalam buat diselesaikan cuma lewat wawancara satu jam. Absurdnya? Meski ada niat baik dan ruang aman, komunikasi tetap gagal total.

  • Efek ke Penonton
    Episode ini paling nempel karena bikin pengalaman imersif: kamera nggak lepas, dialog makin menekan, atmosfer makin pengap. Penonton kerasa duduk di kursi psikolog, mencoba memahami, lalu ikut lelah dan putus asa. Tapi fokus yang terlalu ke satu karakter kadang bisa bikin narasi nggak seimbang.

Perspektif yang Hilang

Di balik kekuatan naratifnya, Adolescence menyisakan kritik serius: perspektif korban, khususnya Katie, nyaris absen. Kehadirannya hanya lewat CCTV dan pesan singkat di akhir, sehingga suara korban tenggelam oleh fokus pada pelaku dan sistem yang melingkupinya. Hal ini membuat cerita terasa timpang, seakan menempatkan trauma korban hanya sebagai latar, bukan pusat. Hal ini sangat disayangkan, tapi jika kita lihat dari sisi sutradara, sepertinya perspektif korban memang sengaja tidak diangkat karena memang ingin fokus ke bagaimana seorang remaja yang polos bisa tumbuh menjadi seorang pembunuh dan bagaimana ia menghadapinya dari perspektif tersangka. 

Refleksi Sosial dan Keterbatasan

Meski penuh kekuatan, Adolescence juga memperlihatkan betapa berisikonya mengedepankan gaya teknis di atas pendalaman cerita. One-shot yang memukau memang menyatu dengan atmosfer, tapi sesekali terasa seperti pertunjukan yang menutupi kekosongan di beberapa subplot. Namun justru di sinilah letak daya tariknya: penonton dipaksa mengisi kekosongan itu dengan keresahan masing-masing.     


Kesimpulan

Adolescence adalah eksperimen berani, potret gelap remaja, keluarga, dan masyarakat yang gagal melihat tanda-tanda kehancuran. Tegang, mengganggu, dan relevan. Episode ketiga bakal menjadi episode paling memorable sebagai salah satu potret psikologi remaja paling kuat di TV.

Seri ini nggak sempurna—perspektif korban hilang, subplot ada yang nggak tuntas—tapi justru itu bikin terasa nyata, karena banyak hal di dunia ini yang memang tidak tertuntaskan. Sebuah karya yang membuat penonton bertanya bukan hanya apa yang salah dengan Jamie, tapi juga apa yang salah dengan kita sebagai masyarakat.

This post have 0 komentar

Next article Next Post
Previous article Previous Post