Netflix menghadirkan miniseri berjudul Adolescence yang tayang perdana 13 Maret 2025. Hanya terdiri dari empat episode, tapi efeknya bisa nempel banget di kepala penonton. Disutradarai oleh Philip Barantini—yang sebelumnya terkenal lewat Boiling Point, semua episode direkam dengan teknik real-time one-shot. Penonton diajak masuk ke ruang, percakapan, dan rahasia dari karakter tanpa jeda, hal ini membuat penonton akhirnya seolah berada di labirin absurditas yang menekan.
Debut Owen Cooper sebagai Jamie cukup mengejutkan: ekspresinya mampu
bergeser dari rapuh menjadi mengancam dalam hitungan detik, menegaskan
kompleksitas remaja yang terluka sekaligus berbahaya. Stephen Graham sebagai
sang ayah menghadirkan lapisan emosional yang lebih dewasa: rasa bersalah,
kebingungan, dan refleksi warisan pola asuh yang retak. Pertemuan keduanya dalam ruang
keluarga di episode terakhir menjadi salah satu adegan paling emosional
sekaligus paling menyakitkan.
Salah satu kekuatan terbesar Adolescence
adalah kemampuannya menghadirkan absurditas yang terasa realistis. Dalam
tradisi Kafkaesque, absurditas muncul bukan dari hal-hal supranatural,
melainkan dari sistem dan keadaan sehari-hari yang seharusnya melindungi
manusia, namun justru menciptakan penderitaan.
Begitu pula dalam seri ini: absurditas muncul
ketika dunia orang dewasa sibuk mencari penjelasan rasional lewat polisi, guru,
psikolog, tetapi gagal menyentuh inti persoalan remaja yang sedang hancur. Kita
melihat bagaimana Jamie berubah menjadi simbol dari sesuatu yang tidak masuk
akal namun sangat mungkin terjadi: seorang anak yang ditelan algoritma dunia
maya, ditambah keluarga yang abai, lalu tumbuh menjadi sosok berbahaya.
Inilah absurditas yang paling menakutkan: bukan
karena mustahil, tetapi karena ia terasa dekat dengan realitas kita. Penonton
dipaksa menghadapi kenyataan bahwa kehancuran bisa berawal dari hal-hal kecil
yang dibiarkan, lalu berkembang menjadi sesuatu yang sistem pun tak mampu
kendalikan.
Episode ketiga adalah titik klimaks naratif dan menjadikan psikolog yang tampil sebagai panggung absurditas. Setting-nya sederhana: ruangan psikolog, Jamie duduk di kursi, ditanya, dipancing, dan dipaksa mengungkap isi pikirannya. Namun justru dalam kesederhanaan ruang inilah intensitas emosional mencapai puncak.
-
Dialog yang MenusukPercakapan Jamie dan psikolog pelan tapi dalam. Jamie awalnya defensif, sinis, tapi lambat laun semua lapisan terbuka: kemarahan, rasa ditinggalkan, obsesi dari dunia online. Dialog ini kayak pisau bedah yang menunjukkan sisi rapuh sekaligus mengancam Jamie.
-
Owen Cooper BersinarAkting Owen di episode ini top banget. Dari anak bingung yang ingin dimengerti, tiba-tiba jadi dingin dan menakutkan. Kamera one-shot menangkap semuanya dan bikin penonton nggak bisa “jaga jarak”: ikut iba tapi juga ngeri.
-
Psikolog sebagai Simbol SistemPsikolog di sini bukan cuma karakter, tapi lambang sistem yang berusaha “memahami” dan “menyembuhkan.” Tapi beberapa luka terlalu dalam buat diselesaikan cuma lewat wawancara satu jam. Absurdnya? Meski ada niat baik dan ruang aman, komunikasi tetap gagal total.
-
Efek ke PenontonEpisode ini paling nempel karena bikin pengalaman imersif: kamera nggak lepas, dialog makin menekan, atmosfer makin pengap. Penonton kerasa duduk di kursi psikolog, mencoba memahami, lalu ikut lelah dan putus asa. Tapi fokus yang terlalu ke satu karakter kadang bisa bikin narasi nggak seimbang.
Meski penuh kekuatan, Adolescence juga memperlihatkan
betapa berisikonya mengedepankan gaya teknis di atas pendalaman cerita.
One-shot yang memukau memang menyatu dengan atmosfer, tapi sesekali terasa
seperti pertunjukan yang menutupi kekosongan di beberapa subplot. Namun justru
di sinilah letak daya tariknya: penonton dipaksa mengisi kekosongan itu dengan
keresahan masing-masing.





This post have 0 komentar