close

Saturday, October 11, 2025

author photo

 


Burning (2018) - 2h 28m

Beberapa film nggak butuh adegan ledakan atau plot twist besar buat bikin kita bingung sekaligus terpaku. Burning (2018) garapan Lee Chang-dong adalah salah satunya - film yang diam-diam membakar pikiran pelan-pelan. 

Diadaptasi dari cerpen Haruki Murakami Barn Burning, film ini kelihatan sederhana di permukaan, tapi makin lama ditonton, makin dalam jurang artinya.

Cerita dimulai saat Jong-su (Yoo Ah-in), cowok muda dari pinggiran, ketemu lagi sama teman lamanya, Hae-mi (Jeon Jong-seo). Mereka mulai dekat, lalu Hae-mi pergi ke Afrika dan kembali dengan Ben (Steven Yeun), pria kaya misterius yang hidupnya seolah tanpa beban. Dari sini, dunia Jong-su mulai retak - antara cemburu, penasaran, dan curiga kalau Ben punya rahasia gelap: suka “membakar lumbung.”

Tapi yang bikin Burning kuat bukan cuma misterinya, melainkan ambiguitasnya. Apakah Ben benar-benar melakukan pembakaran itu? Atau semua cuma halusinasi Jong-su yang dilanda obsesi dan kesepian ekstrem? Film ini nggak ngasih jawaban pasti - dan justru di situlah letak keindahannya. Lee Chang-dong sengaja bikin realita dan ilusi kabur, biar kita ikut tersesat bareng Jong-su.

Little Hunger dan Great Hunger: Dua Lapar yang Beda Dunia


Salah satu momen paling filosofis muncul waktu Hae-mi cerita tentang dua jenis lapar yang dia pelajari di Afrika - Little Hunger dan Great HungerLittle Hunger itu lapar yang bisa dipuaskan dengan makan,” katanya. “Tapi Great Hunger adalah lapar akan makna hidup.”

Kalimat itu kayak tamparan halus buat siapa pun yang pernah ngerasa hidupnya jalan tapi hampa. Hae-mi punya Great Hunger, dia pengen makna, tapi caranya mencarinya bikin dia terus melayang - lewat tarian, cinta, dan mimpi yang nggak jelas bentuknya. Sementara Jong-su lebih ke Little Hunger - realistis, hidup seadanya, tapi dalam dirinya ada kekosongan yang makin lama makin membusuk.

Membakar Lumbung Sebagai Simbol

Kalau di cerpen Murakami, “membakar lumbung” bisa dilihat sebagai metafora untuk menghapus sesuatu yang nggak berguna, sesuatu yang udah kosong maknanya. Tapi di tangan Lee Chang-dong, simbol itu jadi lebih luas - semacam alegori tentang manusia modern yang kehilangan arah, yang butuh sensasi buat ngerasa hidup.

Ben dengan tenangnya bilang kalau dia suka “membakar lumbung setiap dua bulan sekali,” dan cara dia ngomong santai tentang itu justru bikin ngeri, seolah-olah dia menemukan makna lewat kehancuran.

Mungkin yang sebenarnya “terbakar” bukan lumbung, tapi jiwa Jong-su sendiri yang terbakar oleh rasa iri, keterasingan, dan kesadaran pahit bahwa hidupnya nggak akan pernah seindah milik Ben.

Eksistensialisme, Absurdisme, dan Nihilisme di Balik Ambiguitas

Secara filsafat, Burning bisa dibaca lewat kacamata eksistensialisme terutama soal makna dan absurditas hidup. Seperti yang Albert Camus bilang, hidup itu absurd karena manusia terus mencari makna di dunia yang sebenarnya nggak punya makna bawaan. Di titik ini, Burning juga menyentuh wilayah absurdisme: ketegangan antara keinginan manusia untuk memahami segalanya, dan kenyataan bahwa hidup sering kali nggak bisa dijelaskan.

Jong-su mencoba mencari kebenaran soal Ben dan Hae-mi, tapi makin dicari, makin nggak jelas mana yang nyata. Pencarian itu justru memperlihatkan absurditas hidup - bahwa kadang, kita cuma berputar di tempat, dikejar rasa ingin tahu yang nggak akan pernah terjawab.

Dari situ, muncul nuansa nihilisme, perasaan bahwa semua usaha itu sia-sia karena mungkin nggak ada makna sejati yang bisa ditemukan. Jong-su hidup di dunia yang terasa hampa: pekerjaan nggak jelas, keluarga berantakan, cinta pun samar. Dan ketika “api” mulai muncul di dalam dirinya, itu bukan lagi tentang mencari makna, tapi semacam usaha buat merasakan sesuatu, apa pun itu, meskipun lewat kehancuran. Makanya ending film ini terasa tragis sekaligus jujur: manusia bisa membakar apa pun di luar dirinya, tapi nggak bisa kabur dari kehampaan yang tumbuh di dalamnya.


Kalau dibedah lebih dalam, tiga karakter utama Burning ini kayak tiga poros cara manusia menghadapi kekosongan hidup.

Jong-su - Eksistensialis yang Tersesat

Jong-su hidup di dunia yang tanpa arah, tapi dia masih berusaha mencari makna. Dia menulis, dia mencintai, dia curiga - semua tindakannya adalah bentuk pencarian. Dalam dirinya ada semangat eksistensialis: keinginan buat menentukan makna sendiri di tengah kekacauan. Tapi yang tragis, dia nggak pernah benar-benar bisa mewujudkannya. Ia terjebak di antara realita dan delusi, kayak seseorang yang sadar hidupnya absurd, tapi nggak tahu gimana cara menerima absurditas itu. Jong-su nggak menyerah, tapi dia juga nggak bisa berdamai dan itulah ironi eksistensialnya.

Hae-mi - Absurdis yang Menari di Tengah Kekosongan

Hae-mi kelihatannya ringan, tapi sebenarnya dia paling filosofis di antara mereka bertiga. Ia mengakui “lapar besar” yang nggak bisa dipuaskan, tanda bahwa dia sadar hidup itu absurd. Tapi alih-alih tenggelam, dia memilih untuk menari di tengah absurditas itu, seperti waktu dia menari di bawah matahari terbenam. Momen itu bukan sekadar indah, tapi juga tragis: seolah dia sadar dunia ini kosong, tapi dia tetap mencoba menikmati keindahan yang sesaat.


Kalau dilihat dari sisi sinematografi, adegan Hae-mi nari di senja, cuma pakai jeans dan topless di depan rumahnya, diiringi lagu Miles Davis – Générique dari film Ascenseur pour l’échafaud itu salah satu momen paling puitis, jujur dan ambigu di film Burning (2018). Dia nari di depan Jong-su dan Ben sambil bilang kalau dia ingin “menghilang seperti matahari terbenam.” Di momen itu, dia lepas dari segalanya, dari rasa malu, tekanan sosial, bahkan eksistensinya sendiri. Gerakannya kelihatan bebas, tapi juga nyesek; kayak orang yang udah capek jadi dirinya sendiri.

Kamera Lee Chang-dong ngambil jarak pas banget: nggak terlalu dekat, tapi juga nggak jauh. Kita dikasih ruang buat “ngintip” momen itu tanpa bisa benar-benar masuk. Dan itu bikin adegan ini terasa intim tapi juga sedih karena Hae-mi kelihatan paling hidup justru di saat dia ngerasa paling sendirian.

Secara simbolik, tarian itu bisa dibaca sebagai bentuk perlawanan kecil Hae-mi terhadap dunia yang nggak pernah benar-benar ngelihat dia. Dia bukan karakter kuat dalam arti konvensional, tapi lewat tariannya, dia nunjukin bahwa dia masih punya kendali atas tubuh dan dirinya sendiri, walau cuma sebentar. Setelah itu, dia pelan-pelan menghilang kayak matahari yang tenggelam, persis seperti yang dia bilang.

Buat banyak penonton, adegan itu jadi semacam metafora buat “kebebasan yang sementara.” Sebuah keindahan yang nggak bisa diulang, dan justru karena itu, adegan ini terasa nyangkut banget di kepala.

Ben - Nihilis yang Menemukan Makna dalam Kekosongan

Sementara Ben adalah perwujudan nihilisme modern - tenang, kaya, tapi dingin dan kosong. Buat Ben, makna hidup itu nggak ada, jadi dia menciptakan sensasinya sendiri lewat “pembakaran lumbung.” Ia nggak punya empati, tapi juga nggak merasa bersalah. Semua hal buatnya cuma permainan. Kalau Jong-su masih berjuang menemukan arti, Ben udah berhenti berjuang dan itulah kenapa dia terasa menakutkan. Nihilisme Ben bukan sekadar ide, tapi gaya hidup.

Tiga karakter ini saling bertabrakan dalam satu ruang absurd: satu mencari arti, satu mencoba menari di tengah kekosongan, dan satu udah berhenti peduli sama arti itu sendiri.
Mungkin itulah kenapa Burning begitu haunting, karena di dunia nyata pun, kita sering jadi campuran ketiganya.

Kesimpulan

Burning bukan film buat semua orang - film ini lambat, sunyi, dan bikin frustasi. Tapi kalau kamu tahan dengan ritme itu, film ini bisa jadi pengalaman yang sangat eksistensial. Kamu mungkin bakal keluar dari film ini dengan kepala penuh tanda tanya, tapi juga dengan kesadaran baru: bahwa di dalam diri kita, mungkin ada “lumbung” yang juga sedang terbakar pelan-pelan.



This post have 0 komentar

Next article Next Post
Previous article Previous Post