Beberapa film nggak
butuh adegan ledakan atau plot twist besar buat bikin kita bingung sekaligus
terpaku. Burning (2018) garapan Lee Chang-dong adalah salah satunya - film yang diam-diam membakar pikiran pelan-pelan.
Diadaptasi dari cerpen Haruki Murakami Barn Burning, film ini kelihatan
sederhana di permukaan, tapi makin lama ditonton, makin dalam jurang artinya.
Cerita dimulai saat
Jong-su (Yoo Ah-in), cowok muda dari pinggiran, ketemu lagi sama teman lamanya,
Hae-mi (Jeon Jong-seo). Mereka mulai dekat, lalu Hae-mi pergi ke Afrika dan
kembali dengan Ben (Steven Yeun), pria kaya misterius yang hidupnya seolah
tanpa beban. Dari sini, dunia Jong-su mulai retak - antara cemburu, penasaran,
dan curiga kalau Ben punya rahasia gelap: suka “membakar lumbung.”
Tapi yang bikin Burning
kuat bukan cuma misterinya, melainkan ambiguitasnya. Apakah Ben benar-benar
melakukan pembakaran itu? Atau semua cuma halusinasi Jong-su yang dilanda
obsesi dan kesepian ekstrem? Film ini nggak ngasih jawaban pasti - dan justru
di situlah letak keindahannya. Lee Chang-dong sengaja bikin realita dan ilusi
kabur, biar kita ikut tersesat bareng Jong-su.
Little Hunger dan Great Hunger: Dua Lapar yang Beda Dunia
Kalimat itu kayak
tamparan halus buat siapa pun yang pernah ngerasa hidupnya jalan tapi hampa.
Hae-mi punya Great Hunger, dia pengen makna, tapi caranya mencarinya
bikin dia terus melayang - lewat tarian, cinta, dan mimpi yang nggak jelas
bentuknya. Sementara Jong-su lebih ke Little Hunger - realistis, hidup
seadanya, tapi dalam dirinya ada kekosongan yang makin lama makin membusuk.
Membakar Lumbung Sebagai Simbol

Mungkin yang
sebenarnya “terbakar” bukan lumbung, tapi jiwa Jong-su sendiri yang terbakar oleh
rasa iri, keterasingan, dan kesadaran pahit bahwa hidupnya nggak akan pernah
seindah milik Ben.
Eksistensialisme,
Absurdisme, dan Nihilisme di Balik Ambiguitas
Kalau dibedah lebih
dalam, tiga karakter utama Burning ini kayak tiga poros cara manusia
menghadapi kekosongan hidup.
Hae-mi kelihatannya ringan, tapi sebenarnya dia paling filosofis di antara
mereka bertiga. Ia mengakui “lapar besar” yang nggak bisa dipuaskan, tanda
bahwa dia sadar hidup itu absurd. Tapi alih-alih tenggelam, dia memilih untuk menari
di tengah absurditas itu, seperti waktu dia menari di bawah matahari terbenam.
Momen itu bukan sekadar indah, tapi juga tragis: seolah dia sadar dunia ini
kosong, tapi dia tetap mencoba menikmati keindahan yang sesaat.Kalau dilihat dari sisi sinematografi, adegan Hae-mi nari di senja, cuma pakai jeans dan topless di depan rumahnya, diiringi lagu Miles Davis – Générique dari film Ascenseur pour l’échafaud itu salah satu momen paling puitis, jujur dan ambigu di film Burning (2018). Dia nari di depan Jong-su dan Ben sambil bilang kalau dia ingin “menghilang seperti matahari terbenam.” Di momen itu, dia lepas dari segalanya, dari rasa malu, tekanan sosial, bahkan eksistensinya sendiri. Gerakannya kelihatan bebas, tapi juga nyesek; kayak orang yang udah capek jadi dirinya sendiri.
Kamera Lee Chang-dong ngambil jarak pas banget: nggak terlalu dekat, tapi juga nggak jauh. Kita dikasih ruang buat “ngintip” momen itu tanpa bisa benar-benar masuk. Dan itu bikin adegan ini terasa intim tapi juga sedih karena Hae-mi kelihatan paling hidup justru di saat dia ngerasa paling sendirian.
Secara simbolik, tarian itu bisa dibaca sebagai bentuk perlawanan kecil Hae-mi terhadap dunia yang nggak pernah benar-benar ngelihat dia. Dia bukan karakter kuat dalam arti konvensional, tapi lewat tariannya, dia nunjukin bahwa dia masih punya kendali atas tubuh dan dirinya sendiri, walau cuma sebentar. Setelah itu, dia pelan-pelan menghilang kayak matahari yang tenggelam, persis seperti yang dia bilang.
Buat banyak penonton, adegan itu jadi semacam metafora buat “kebebasan yang sementara.” Sebuah keindahan yang nggak bisa diulang, dan justru karena itu, adegan ini terasa nyangkut banget di kepala.
Kesimpulan


.jpeg)
.png)

This post have 0 komentar