close

Saturday, October 25, 2025

author photo

I'm Thinking of Ending Things 
2020. 2h 14m


Dirilis tahun 2020, I’m Thinking of Ending Things adalah karya Charlie Kaufman yang sekali lagi nunjukin kalau dia bukan cuma pembuat film, tapi juga penulis yang berani mengulik isi kepala manusia sampai ke bagian tergelapnya. Dibintangi Jessie Buckley dan Jesse Plemons, film ini berangkat dari premis sederhana: ada seorang perempuan yang kepikiran buat ngakhirin hubungannya sama pacarnya, Jake, tapi tetap nemenin dia buat ketemu orang tuanya di pedesaan. Tapi di balik perjalanan yang kelihatannya biasa aja, ternyata tersembunyi labirin pikiran dan waktu yang bikin kita mikir sebenernya apa yang nyata, dan siapa yang beneran hidup di dunia ini?

Film ini, kayak karya-karya Kaufman lainnya, nggak ngasih jalan cerita yang lurus. Narasinya bergerak kayak ingatan yang retak, penuh pengulangan, geseran makna, dan momen-momen yang terasa nggak nyatu sama realitas. Hal-hal kecil kayak perubahan baju, umur orang tua Jake yang tiba-tiba beda, atau bahkan nama si tokoh perempuan yang terus berubah, bukan sekadar permainan visual, tapi cerminan dari satu hal: rapuhnya kesadaran manusia. Kaufman ngajak kita jalan-jalan di dalam kepala yang terfragmentasi, yang penuh rasa bersalah, penyesalan, dan keinginan buat berhenti ada.

Di titik ini, Kaufman kayak ngajak kita buat nggak cuma nonton filmnya dari sisi psikologis, tapi juga dari sisi filosofis tentang apa artinya jadi manusia. Film ini bisa dilihat dari banyak sudut pandang pemikiran: mulai dari eksistensialisme yang nanya soal makna hidup, fenomenologi yang bahas kesadaran dan persepsi, sampai absurdisme dan nihilisme yang ngebahas soal kehampaan. Kaufman nggak cuma bercerita, tapi juga bertanya lewat gambar: apa artinya hidup kalau semua yang kita alami cuma ada di kepala?

Kalimat pembuka, “I’m thinking of ending things,” jadi kunci dari semua yang terjadi di film ini. Kalimat itu ambigu, bisa berarti mau mengakhiri hubungan, mau mengakhiri hidup, atau bahkan mau mengakhiri pikiran itu sendiri. Dari kacamata filsafat eksistensialisme, kayak yang dibahas Albert Camus di The Myth of Sisyphus, kalimat itu adalah bentuk kesadaran manusia terhadap absurditas hidup. Camus pernah bilang kalau “satu-satunya persoalan filosofis yang bener-bener serius adalah bunuh diri.” Maksudnya, pertanyaan utama soal eksistensi bukan tentang gimana kita hidup, tapi kenapa kita masih milih buat terus hidup di dunia yang rasanya nggak punya makna. Tokoh perempuan - atau mungkin cuma bagian dari pikiran Jake - berdiri tepat di ambang kesadaran itu.

Menurut Sartre, manusia dikutuk buat bebas, dan kebebasan itu justru bikin cemas. Tokoh-tokoh di film ini kelihatan berusaha menolak kebebasan itu. Mereka bikin rutinitas, pakai topeng, dan ngobrol seolah semuanya bermakna, padahal kosong. Di salah satu adegan mobil, obrolan panjang soal puisi, seni, dan film kedengarannya cerdas di permukaan, tapi lama-lama malah kehilangan arah dan berujung keheningan yang canggung. Di situ Kaufman menyorot absurditas eksistensi: gimana manusia sering sembunyi di balik kata-kata dan kesan intelektual, padahal yang sebenarnya mereka takutkan adalah kesunyian dalam diri sendiri.

Jake itu gambaran dari manusia yang gagal menghadapi kebebasannya. Dia hidup dalam bad faith, kayak yang dijelasin Sartre dan menolak kenyataan dirinya dengan bikin realitas palsu. Dia ngebangun dunia imajinasi di mana dia masih dicintai, dihargai, dan dianggap berharga. Tapi dunia itu pelan-pelan runtuh karena dia sadar semua itu cuma bayangan. Di adegan akhir, waktu Jake nyanyi dari musikal Oklahoma! di bawah cahaya yang nggak nyata, kita kayak lagi liat tragedi manusia yang terjebak di dunia khayalannya dan menolak untuk menghadapi ketiadaan yang udah lama melumat dirinya sendiri.

Dari sisi fenomenologi, terutama gagasan Edmund Husserl tentang kesadaran dan persepsi, film ini juga bisa dibaca sebagai eksplorasi tentang gimana manusia ngerasain dunia. Kaufman ngajak penonton masuk ke dalam kesadaran yang nggak stabil, di mana batas antara “aku” dan “yang lain” mulai kabur. Tokoh perempuan yang identitasnya terus berubah - kadang Lucy, kadang Louisa, kadang Lucia - jadi simbol kesadaran yang tercerai-berai. Dia bukan sosok yang nyata, tapi bentuk pikiran yang lagi mencoba untu menyusun makna hidup yang udah hancur. Dengan kata lain, dia itu intentional object dalam kesadaran Jake: representasi dari penyesalan, idealisasi, dan rasa bersalah yang nggak pernah tuntas.

Kaufman juga nyentuh pendekatan absurd ala Camus dan Kierkegaard buat nunjukin keputusasaan manusia. Jake sadar hidupnya hampa, tapi dia nggak sanggup berdamai sama absurditas itu. Kalau buat Camus, manusia yang sadar hidup itu absurd seharusnya tetap memilih untuk hidup - hidup tanpa alasan, tapi dengan kesadaran penuh. Tapi Jake justru gagal sampai ke tahap itu. Dia berhenti di titik penolakan, kayak yang dijelasin Kierkegaard sebagai bentuk despair - keputusasaan karena nggak bisa nerima diri dan realitasnya sendiri. Jake nggak bisa nerima kalau hidupnya nggak sempurna, jadi dia lebih milih bikin dunia di mana semuanya masih bisa dikendalikan bahkan kalau itu berarti hidup di dalam pikirannya sendiri.

Menurut saya filsafat yang paling kuat di film ini adalah absurdisme, pandangan Camus bahwa manusia terus mencari makna di dunia yang nggak bakal ngasih makna apa pun. Tapi bedanya, Kaufman nggak nyuruh kita buat “melawan” absurditas itu. Dia justru ngajak kita duduk bareng rasa canggung dan sepi itu, buat ngerasa betapa manusiawinya keinginan buat berhenti sejenak. Bahwa ada sisi lembut dari keputusasaan, yang nggak harus dihakimi atau disembunyiin. Di dalam kesunyian itu, Kaufman ngasih ruang buat setiap orang ngerasa takut — dan mungkin, sedikit ngerti bahwa nggak apa-apa ngerasa pengen mengakhiri segalanya, selama kita masih sadar kalau itu cuma pikiran.

Dalam konteks lain, film I’m Thinking of Ending Things juga bisa dilihat dari kacamata psikoanalisis. Tokoh perempuan itu proyeksi dari anima di dalam diri Jake — sisi feminitas bawah sadar yang isinya keinginan, empati, dan sisi manusiawi yang perlahan pudar. Sementara Jake sendiri adalah ego yang terjebak di antara rasa bersalah dan keinginan buat nebus masa lalu. Janitor tua yang muncul di tengah-tengah film jadi representasi dari superego — suara moral dan penyesalan yang nggak pernah berhenti. Ketiganya saling bertabrakan di dunia yang makin kabur antara nyata dan khayal.

Ada satu momen di mana tokoh perempuan baca puisi berjudul Bonedog:

“The snow is falling,
and the dog is dying,
and you’re trying to keep warm.”

Puisi itu ngasih gambaran kesepian manusia dengan cara yang sederhana — keinginan buat tetap hangat di dunia yang dingin. Salju di film ini bukan cuma latar, tapi simbol waktu dan makna yang membeku. Dunia berhenti bergerak, semua emosi ikut membeku, dan yang tersisa cuma pikiran yang terus muter di tempat.

Akhirnya, I’m Thinking of Ending Things bukan soal bunuh diri atau hubungan yang gagal. Ini meditasi tentang kesadaran yang menua — tentang manusia yang lagi berusaha ngerti hidup setelah kehilangan makna. Kaufman ngajak kita buat lihat kalau kadang hidup emang nggak punya jawaban, dan mungkin emang nggak harus punya. Soalnya, kayak kata Camus, “Kita harus membayangkan Sisyphus bahagia.” Mungkin, di kepala Jake yang penuh salju dan kenangan busuk itu, masih ada seberkas harapan kecil — bahwa di balik semua kehancuran, manusia tetap bisa menemukan keindahan kecil dari berpikir, bahkan kalau yang dipikirin adalah tentang mengakhiri segalanya.

This post have 0 komentar

Next article Next Post
Previous article Previous Post