close

Friday, August 13, 2021

author photo
daerah yang diduga kerajaan salakanegara



PojokReview - Selama bertahun-tahun, pelajaran sejarah Nusantara di sekolah memperkenalkan Kerajaan Kutai Kertanegara sebagai kerajaan tertua yang pernah ditemukan jejaknya di Nusantara. Kerajaan Kutai yang berdiri di Kalimantan tersebut merupakan kerajaan bercorak Hindu dan dianggap sebagai cikal bakal peradaban Kalimantan modern, serta menjadi pembuka lahirnya kerajaan-kerajaan besar di Nusantara. Dua yang paling terkenal dan terbesar tentunya adalah Sriwijaya dan Majapahit yang berselisih 7 abad. 

Namun belakangan, klaim tersebut berubah. Kerajaan Kutai bukan lagi yang tertua, melainkan sebuah kerajaan yang berdiri di Pulau Jawa jauh lebih dulu dari Kutai. Kerajaan tersebut bernama Salakanegara. Bagaimana sebenarnya kerajaan Salakanegara tersebut? Di mana letaknya? Apa bukti keberadaan Salakanegara? 

Bukti Salakanegara Sebagai Kerajaan Tertua


Salakanegara diduga berdiri ketika abad ke-2 masehi, atau sekitar tahun 130 masehi. Kerajaan ini didirikan oleh Dewawarman 1 yang bergelar Prabu Darmalokapala Aji Raksa Gapura Segara. Prabu Darmalokapala menjadi raja di kerajaan tersebut sejak tahun 130 hingga 168 Masehi.

Karena berdiri sejak abad ke-2, itu berarti Salakanegara lebih dulu berdiri dari Kutai yang berdiri di abad ke-4. Salah satu catatan yang dianggap sebagai bukti keberadaan kerajaan ini adala buku berjudul Geographia yang ditulis oleh filsuf Yunani, Ptolemaeus. 

Ptolemaeus menggambar sebuah pulau di Nusantara dengan nama Labodio yang kemudian dikenal bernama Yawadwipa (sekarang pulau Jawa). Di sudut barat pulau tersebut, ada kerajaan besar bernama Argyre alias Kerajaan "Perak".

Kemudian, diketahui bahwa di bahasa setempat, perak berarti salaka. Nagara berarti kerajaan. Dan itu berarti Salakanegara adalah kerajaan Argyre yang dimaksud Ptolemaeus. Buku tersebut ditulis pada tahun 150 masehi, dan itu berarti kerajaan itu sudah berdiri di era tersebut.

Bukti berikutnya yang menguatkan keberadaan Salakanegara adalah catatan para pedagang dari Cina.  Kekaisaran Cina yang saat itu dipimpin oleh Dinasti Han bahkan berhubungan baik dengan kerajaan Salakanegara ini. Dari catatan perjalanan dari Cina ditemukan bahwa Salakanegara pernah mengirim utusan untuk bekerjasama dengan Cina di abad ke-3.

Kemudian, ada sebuah karya sastra berbahasa Jawa kuno yang merupakan bagian dari naskah Wangsakerta. Naskah Wangsakerta berasal dari Cirebon ini menuliskan adanya kerajaan Salakanegara yang menguasai sebagian besar wilayah Jawa Barat dan Banten saat ini.

Bahkan, ibukota kerajaan ini diduga adalah wilayah Jakarta saat ini. Salakanegara juga diduga berada di daerah kaki Gunung Salak yang sering berwarna keperakan ketika siang hari. Dari nama Salakanegara itu diduga berasal dari nama perak itu.

Dewawarman I adalah raja pertama kerajaan ini, sedangkan raja terakhir adalah Dewawarman IX yang kemungkinan di sekitar tahun 362 M.

Tanggapan dan Kritik Terhadap Klaim Kerajaan Salakanegara


Namun sayangnya, Salakanegara masih belum "meyakinkan" para ahli sejarah karena kurangnya bukti fisik seperti bekas reruntuhan kerajaan, prasasti, dan bukti arkeologis lainnya. Karena itu, Salakanegara masih terus digali informasinya untuk memastikan apakah kerajaan tersebut benar-benar ada atau malah hanya mitos belaka.

Pertama, Naskah Wangsakerta yang menjadi sumber rujukan kerajaan tersebut adalah naskah yang ditulis pada abad ke-20 Masehi. Hasilnya, ditemukan pula penggunaan bahasa Jawa Kuno yang kurang tepat. Kemudian, isi terkait silsilah kerajaan, masa kekuasaan, dan sebagainya justru terlalu lengkap tidak seperti catatan kerajaan-kerajaan yang ada di masa setelahnya. 

Kedua, raja-raja Salakanegara menggunakan huruf Romawi di belakang namanya. Itu berarti, kerajaan ini sudah "tersentuh" dengan budaya Eropa. Padahal, kerajaan di Indonesia prakolonialisme tidak ada yang menggunakan angka romawi tersebut. Kedatangan bangsa Eropa di abad ke-15 justru membuat banyak pihak yang mulai menyangsikan keberadaan kerajaan Salakanegara.

Apalagi, ada temuan kebudayaan Buni yang saat abad ke-2 menghuni daerah Karawang, Jakarta dan sudah memiliki sistem politik, namun bukan kerajaan. Sistem politik yang dimiliki kebudayaan Buni tersebut disebut dengan nama Chiefdom. Malahan, catatan Ptolemaeus (Geographia) hingga buku Gaius Plinius Secundus berjudul Naturalis Historia yang menyebut "Argyre" itu disebut lebih mengarah ke sebuah sistem politik alih-alih kerajaan besar. 

This post have 0 komentar

Next article Next Post
Previous article Previous Post