close

Saturday, March 09, 2024

author photo


Pojok Review - Salah seorang pengguna media sosial bertanya, bahwa dia ingin menjadi aktor teater atau film. Maka, jurusan apa yang harus diambil? Tidak lama kemudian, juga ada yang bertanya untuk menjadi seorang sastrawan, atau setidaknya orang yang bisa mengkaji sastra, apa jurusan kuliah yang harus diambil? Pertanyaan yang sama juga diajukan oleh orang yang menggemari musik, lukis, hingga tari. 


Tadinya, kita akan mengira orang-orang akan memberikan jawaban untuk mengambil jurusan seni tari, seni teater, seni rupa, seni musik, dan sastra di universitas atau institut seni. Tapi, ternyata jawaban yang diberikan adalah; kuliah aja di jurusan yang nanti punya prospek karir yang jelas, kalau untuk bakat seni itu bisa dilatih sendiri di UKM atau di rumah.


Bahkan ada juga yang menjawab, "noh lihatin YouTube aja, belajar aja dari sana"


Intinya, jawaban-jawaban dari netizen Indonesia rata-rata menganggap kuliah dan membaca bukan hal yang penting untuk memperoleh keterampilan. Asalkan proses terus, maka seseorang akan menjadi expert dengan sendirinya. Tapi, apakah itu betul seperti itu? Terutama di era dimana semua berkembang dengan pesat seperti saat ini? 


Model Pemerolehan Keterampilan Dreyfus


Kuliah, melanjutkan pendidikan, membaca buku, berdiskusi, dan sebagainya memang lebih condong ke arah akademis. Karena itu, banyak yang menganggap bahwa hal ini lebih ditujukan untuk keilmuan sains dan setipenya. Bukan untuk hal-hal yang terkait ke kebakatan seperti olahraga dan seni.


Namun, dua bersaudara bernama Stuart Dreyfus dan Hubert Dreyfus, memiliki pandangan berbeda. Penelitian mereka yang diajukan tahun 1980 di Universitas Berkeley, California yang dilakukan di Pusat Penelitian Operasi, Kantor Penelitian Ilmiah, Angkatan Udara Amerika Serikat (Operations Research Center for the United States Air Force Office of Scientific Research) menunjukkan bahwa pemerolehan keterampilan tidak bisa hanya diandalkan pada rutinitas.


Setidaknya ada empat kualitas yang dipertimbangkan antara lain Recollection, Recognition, Decision, dan Awareness. Recollection berkaitan dengan ingatan, recognition berkaitan dengan pengakuan orang lain terhadap dirinya, decision terkait dengan pengambilan keputusan, dan awareness berkaitan dengan kesadaran atas situasi sekeliling dan penyerapan keilmuan baru.


Dari keempat kualitas tersebut, "level" kepakaran seseorang terbagi menjadi lima, yakni: 

  1. novice (pemula/awam)
  2. advance beginner (pemula awal)
  3. competent (orang yang berkompentensi)
  4. proficient (ahli/mahir)
  5. expert (pakar)



Pemula atau awam adalah orang-orang yang kaku pada aturan, serta sulit untuk melakukan penilaian terhadap sesuatu dengan bijaksana. Agak sulit untuk menggunakan logika dalam penilaian sesuatu, selalu mengandalkan perasaan.


Pemula awal, setidaknya sudah memiliki persepsi situasional meski terbatas. Pemula awal ini mengetahui sedikit-banyak aspek tertentu, namun baru bisa melakukannya dengan terpisah.


Kompeten adalah orang-orang yang dengan mudah meniru apa yang dilakukan oleh banyak orang, serta mampu menarik lebih banyak perhatian. Orang-orang kompeten akan melakukan banyak hal berdasarkan persepsinya yang sudah lebih luas, dan akhirnya mencapai tujuan dengan baik. Orang-orang yang kompeten ini juga lebih tertarik melakukan perencanaan yang disengaja, serta mulai perlahan merumuskan rutinitasnya sendiri.


Ahli/mahir adalah orang-orang dengan pandangan yang holistik. Ia mulai mengeliminasi aspek yang kurang penting, dan memprioritaskan aspek yang penting. Ahli/mahir juga akan melihat kemungkinan keluar dari pola yang normal untuk menciptakan sesuatu.


Pakar adalah orang-orang yang melampaui "aturan" sehingga kemudian menerapkan aturan-aturan baru bagi para "mahir, kompeten, dan pemula". Ia mampu memahami situasi secara intuitif, karena memiliki "sedikit" pengetahuan tapi sampai mendalam dan hinga ke detail-detailnya. Ia menjadi seorang yang visioner di bidangnya, selalu melakukan pendekatan analitis untuk situasi yang terus berubah.


Dan bisa disimpulkan bahwa setiap orang menggunakan dua hal untuk meningkatkan kompentensi dirinya, yakni: berproses rutin, dan belajar membaca konteks.


Sayangnya, menurut Dreyfus bersaudara, hasil penelitian mereka menemukan bahwa seseorang yang hanya mengandalkan proses rutin dan pembiasaan hanya akan berakhir menjadi orang yang kompeten. Untuk maju hingga ke level ahli dan pakar, ia mesti belajar membaca konteks. 


Otodidak dan seseorang yang mengenyam pendidikan bisa saja memiliki karya dengan kualitas yang ditakar hampir sama. Tapi, dari kedua tersebut, hanya seseorang yang mengenyam pendidikan saja yang bisa menjelaskan karyanya dengan baik, serta membuat lagi karya yang sama dengan pertimbangan situasional ke depannya.


Apakah Anda pernah mendengar istilah one hit wonder? Yah, ada satu musisi/grup yang berhasil membuat sebuah karya yang sangat indah, namun menghilang setelahnya. Penyebabnya, karya berikutnya tidak mampu mengalahkan keindahan karyanya sendiri.


Sedangkan seniman yang tetap bertahan, adalah seniman yang belajar, menganalisis, membaca situasi, membaca konteks, dan memperdalam pengetahuan, untuk akhirnya mampu menelurkan formulasi karya khas dirinya sendiri.


Mungkin saja ia tidak mendapatkannya di bangku kuliah. Tapi, ia menggunakan sistem belajar (di luar kampus) dengan sistem yang mirip dengan di kampus. Seperti apa sistem itu?


sistem belajar di kampus

Dari gambar di atas bisa dilihat bahwa proses dimulai dari mengidentifikasi masalah, lalu dilanjutkan dengan review literatur, kemudian mempersiapkan pertanyaan, objek penelitian dan tentunya hipotesis. Proses dilanjutkan dengan memilih desain studi, dan menentukan desain sampel. Berikutnya, proses pengumpulan data, memproses dan menganalisis data, lalu menulis laporannya (dalam bentuk tugas akhir). Terakhir, mengumumkan (dan mempertanggungjawabkan) hasil tersebut. Setelah itu, hasil ini akan digunakan untuk  mengindentifikasi masalah lainnya.


Susunan di atas adalah sistem yang digunakan di bangku kuliah, hingga level pascasarjana. Anda mungkin bisa melewatkan "kuliah", tapi tidak bisa meninggalkan belajar dan membaca sumber (review literatur), dan melihat konteks (identifikasi masalah), menganalisisnya (melakukan penelitian, riset, dan pengumpulan data), sampai akhirnya mendapatkan hasil (laporan), yang kemudian digunakan untuk menganalisis/mengidentifikasi masalah lainnya.


Sebagian besar orang yang belajar otodidak tanpa guru, hanya berbekal YouTube, akan melakukan cara yang lebih cepat: identifikasi masalah lalu mengambil kesimpulan.


Karena itu, Dryfus mengambil kesimpulan bahwa orang yang hanya mengandalkan proses rutin hanya akan stagnan di satu titik. Sedangkan orang yang mengandalkan proses rutin didampingi dengan belajar membaca konteks akan mencapai level expert. Berikut diagramnya:



Tapi, kan dulu orang-orang hanya berproses rutin kemudian jadi pakar, kok?


Kata siapa? Apalagi saat ini, ketika nyaris semua lini sudah perlahan digantikan oleh Artificial inteligent (AI). Apa yang tidak bisa dilakukan oleh AI?


Jawabannya adalah, membaca konteks. AI hanya bisa melakukan sebatas yang bisa dilakukan oleh seseorang di level kompeten (competent)


AI hanya mampu meniru apa yang dilakukan banyak orang, membuat sesuatu dengan cara mengumpulkan apa saja yang sudah pernah diciptakan seseorang. AI bisa melakukan hal dengan persepsi yang lebih luas, hingga mencapai tujuan dengan baik. AI juga bisa merumuskan rutinitas, dan melakukan formulasi tertentu.


Tapi, AI tidak bisa melakukannya dengan pandangan holistik. AI tidak bisa menentukan mana aspek yang prioritas, mana aspek yang kurang penting. AI juga sulit melakukan sesuatu yang "keluar dari pola pakem". Dengan kata lain, AI tidak bisa melakukan apa yang bisa dilakukan oleh orang yang mahir.


Apalagi melakukan yang dilakukan oleh orang yang pakar. Jadi, pernyataan bahwa "orang dulu juga tidak kuliah/belajar secara sistematis untuk menganalisa konteks, toh berhasil sukses" itu sudah tidak berlaku lagi di era teknologi seperti saat ini. 


Berbisnis di daerah misalnya. Orang-orang di daerah cenderung melakukan copy paste dari usaha orang yang sudah lebih dulu sukses. Bahkan pengusaha yang sudah sangat sukses sekalipun, tidak jarang akan ikut-ikutan ke suatu bisnis yang sudah sukses. 


Jadi, orang-orang tersebut melakukan "apa yang bisa dilakukan AI". Maka, seorang yang ahli akan membuat bisnis yang susah disaingi oleh kompetitor karena membutuhkan keahlian, pengetahuan, dan tentunya pengalaman yang mumpuni.


AI akan sulit menjadi problem-solver ketika bisnis Anda mengalami kebangkrutan, atau sulit mendapatkan pelanggan. Satu-satunya yang bisa Anda lakukan adalah mengidentifikasi dan menganalisis untuk memecahkan masalah tersebut sendiri. 


Jadi, apakah belajar (secara sistematis), membaca, dan kuliah itu tidak perlu untuk memperoleh keterampilan di era seperti ini? Hanya perlu proses rutin dan berulang saja? Jawabannya adalah BIG NO!

This post have 0 komentar

Next article Next Post
Previous article Previous Post